Pertarungan Melawan Depresi

by 6:55 pm 0 comments

Aku bukanlah manusia tanpa cela. Dalam hidup hampir semua momen ‘up and down’ pernah aku alami. Pertarungan melawan depresi menjadi salah satu kejadian yang (mungkin) mengubah jalan cerita hidupku…

Berawal dari meninggalnya bapakku pada 2008 silam, kehidupanku pun berubah. Dari yang awalnya penuh kesenangan, tiba-tiba berbalik 180° menjadi runyam.

Kala itu aku masih awal kelas 1 SMA, masuk semester dua tepatnya. Di akhir Januari 2008, bapakku tiba-tiba dilarikan ke rumah sakit karena mengalami stroke akibat terlalu lelah menyiapkan wisuda mahasiswa UGM – beliau merupakan Kepala Seksi Registrasi dan Statistik Direktorat Administrasi Akademik yang terletak di Gedung Pusat.

Aku masih ingat, pagi hari di tanggal 22 Januari, aku sempat makan bareng sama beliau. Waktu itu berjalan normal, tidak ada tanda-tanda bahwa ia akan mengalami sakit yang akhirnya merenggut nyawanya. Pagi itu pun bisa dikata cerah untuk Januari yang biasanya sering hujan. Aku memang tidak bisa membaca pertanda.

Siang harinya – selagi aku sekolah – ibuku ternyata sudah bersama bapakku di salah satu rumah sakit yang ada di Yogyakarta. Tidak seperti biasanya ia tidak pulang ke rumah terlebih dahulu untuk menyiapkan lauk-pauk bagi kami, anaknya. Sembari menunggu kepulangan kedua orang tuaku, aku menanti dengan perut keroncongan. Hingga waktu menginjak sore, ternyata yang pulang cuma ibuku seorang. Dan kemudian ia menyuruhku bergegas ke rumah sakit dengan tidak menjelaskan ada apa.

Di rumah sakit, aku mendapati tubuh bapakku penuh selang dengan badan yang sudah lumpuh sebagian. Anak mana yang tidak hancur hatinya mengetahui keadaan seperti itu? Walau mencoba tegar, air mata tetap jatuh membahasi pipi. Suatu hal yang aku pikir alami dan manusiawi.

Memasuki malam hari, aku disuruh pulang untuk mengurus rumah sementara adikku yang baru SMP menginap di rumah saudara. Ibuku meminta aku untuk tetap hidup normal, dengan pesan ‘masuklah sekolah dan belajarlah mandiri’. Oke, kataku dalam hati.

Mengetahui di rumah cuma ada aku seorang, tetangga lantas menaruh curiga dan bertanya ke mana yang lainnya. Well, ibuku berpesan, kalau ditanya tetangga, lebih baik jawab ‘bapak lagi ke luar kota’. Ibuku bermaksud demikian supaya suaminya itu, yang merupakan ketua RT setempat, tidak banyak dijenguk mengingat kondisinya yang kritis – anaknya saja tidak diizinkan masuk ke ruang ICU, harusnya yang protes itu aku!

Mulai dari situ kerunyaman tercipta. Saat aku tak lagi bisa berbohong kepada tetangga, warga pun beramai-ramai menjenguk bapakku di rumah sakit, meski semuanya tidak boleh masuk ke ruang perawatan. Berawal dari tetangga pula, pakdheku (yang merupakan kakaknya bapakku) jauh-jauh datang dari Jawa Timur ke Jogja untuk menemui adiknya.

Hubungan pakdheku dengan ibuku bisa dikata tidak terlalu baik, begitu pula hubungan ibuku dengan budheku (adik dari bapakku). Dari kejadian itu keduanya memendam amarah karena tidak diberi kabar soal sakit yang dialami saudaranya.

Ibuku memang salah, salah karena tidak memberitahu keadaan yang sesungguhnya. Di sisi lain, dia juga benar, benar karena dia berusaha sekuat tenaga untuk membuat suaminya beristirahat total tanpa ada gangguan.

Semuanya dikerjakan sendiri… Mulai dari mengurus anak sampai biaya operasi, ibuku berada di garis depan. Sebagai informasi, bapakku sempat dinyatakan melewati masa kritis setelah melakukan operasi bedah kepala, yang biayanya fantastis, guna mengurangi gumpalan darah yang ada di otak.

Dua hari sebelum meninggal, tepatnya 3 Februari, bapakku tiba-tiba terbangun menjelang maghrib dan berusaha mengatakan sesuatu kepada aku, yang waktu itu menemani di sampignnya. Ia hendak berkata tapi tak bisa. Akhirnya aku memintanya untuk kembali istirahat dan bilang bahwa semuanya baik-baik saja.

Semua yang aku kira baik, ternyata berubah menjadi hal yang tak terduga. 5 Februari di siang hari, aku dijemput paksa oleh saudara di sekolah dan ia mengabarkan bahwa bapakku sudah ada dalam kondisi sakaratul maut. Setibanya di sana, aku (seperti biasa) mencoba tegar. Namun tangis itu pecah juga ketika bapak dinyatakan meninggal dunia menjelang maghrib.

Waktu itu aku sejatinya disuruh pulang mengingat sudah sore dan tidak ada orang di rumah. Aku juga sempat berpamitan kepada bapakku dengan mengatakan bahwa aku akan pulang dan berjanji untuk kembali. Baru beberapa langkah meninggalkan ruangan, tiba-tiba aku disuruh masuk lagi ke kamar perawatan dan mengetahui bapakku telah tiada. Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un.

Ruangan itu mendadak banjir tangisan dengan aku yang menangis sejadi-jadinya. Aku sama bapakku termasuk sangat dekat hingga aku merasa begitu kehilangan – dalam hal ini aku kehilangan sosok yang selama ini membimbing serta menginspirasiku.

Bapakku akhirnya dikebumikan pada Rabu, 6 Februari, dengan semua kolega yang turut mengiringi kepergiannya, termasuk teman-temanku dari kelas XG SMA N 5 Yogyakarta, SMP N 1 Yogyakarta  dan SD N Tukangan.

Meninggalnya bapakku menjadi babak tersulit dalam kehidupan kami sekeluarga. Kami kehilangan sosok tulang punggung dan pekerja keras yang memastikan masa depan kami aman. Terlepas itu, meninggalnya bapakku merupakan sebuah pembelajaran, terutama untuk aku pribadi.

Beberapa hari setelah kepergiannya, pakdheku tiba-tiba mempermasalahkan rumah yang selama ini kami tempati. Ya, rumah itu merupakan warisan simbah (dari pihak bapak), sehingga dia mencoba untuk memilikinya kembali padahal ia sudah meninggalkan rumah tersebut sejak tahun 70an.

Rumah itu dulunya tidak berbentuk. Berkat upaya bapakku, sedikit demi sedikit akhirnya tempat tinggal itu layak untuk disebut rumah, rumah bagi kami berempat.

Bapakku sejatinya punya pemikiran untuk beli rumah sendiri sewaktu masih hidup. Tapi karena almarhum simbah melarang, akhirnya beliau mengikuti karena mengira tidak akan ada masalah dengan rumah yang ditempati saat ia meninggal nanti.

Kenyataan justru berkata lain. Kami terusir dari rumah tersebut dan kebingungan mencari tempat berteduh. Ibuku lantas mengupayakan untuk mengontrak rumah yang berada dekat dengan saudaranya, yang mana kami tempati selama enam bulan sebelum akhirnya simbah (dari ibuku) memberikan tanah secara cuma-cuma yang ada di Tugu dan membangunnya menjadi rumah sangat sederhana.

Saat pindahan selesai, muncul masalah lainnya. Adikku. Ya, adikku yang waktu itu memasuki kelas 2 SMP meminta untuk dibelikan motor sebagai penunjang kegiatan, dan tak tanggung-tanggung, yang diminta adalah motor laki yang harganya tahu sendiri.

Pertamanya tidak dikabulkan, hingga adikku mengeluarkan jurus mogok bicara hampir selama setahun. Ibuku tidak diajak bicara begitu lama hingga membuat kami berdua stres.

Aku pun menyadari kalu perubahan juga tercipta dalam diriku. Aku yang semula gendut berbobot 100kg, dalam setahun kehilangan berat hampir mencapai 30kg, dan itu akibat depresi yang aku alami.

Depresi yang aku rasakan merupakan akumulasi dari rasa sedih dan frustrasi sebagaimana aku yang mencoba untuk berdamai dengan keadaan. Jika kebanyakan orang depresi melakukan bunuh diri, aku memilih untuk memendamnya hingga perasaanku yang menjadi korban.

Hampir setahun lamanya aku memulihkan diri. Dalam kesempatan ini aku juga ingin berterima kasih kepada tanteku yang selama waktu sulit tersebut mau mendengar keluh kesahku. Dialah yang memberi pandangan untuk tetap positif meski kehidupan berjalan negatif.

Dengan aku yang semakin dewasa, aku pun mulai lebih bertanggungjawab, mencoba menjadi mandiri. Sejak lulus SMA, aku lantas mencari pekerjaan sekaligus menyalurkan hobi: sepakbola. Kebetulan, aku adalah orang yang memiliki kemampuan dan pengetahuan yang cukup untuk terjun di dunia jurnalisme sepakbola, sehingga aku mendapatkan peran sebagai editor untuk klub Indonesia Premier League (IPL) Real Mataram, yang mana merupakan pekerjaan pertamaku.

Saat kompetisi tandingan untuk PSSI itu bubar, Tuhan membukakan jalannya padaku dengan aku yang diterima bekerja di ESPN Star Sports, dan juga Goal Indonesia.

Dirasa sudah mandiri, ibuku menyuruh untuk membeli rumah dengan cara mengangsur demi masa depan. Praktis, sejak 2012 aku sudah tidak lagi serumah dan Alhamdulillah tidak lagi meminta darinya.

Beberapa hal yang ingin aku tekankan kepada kalian yang mendapati diri tengah berada di titik terendah adalah…

1.     Jangan pernah putus asa dan selalu berpandangan positif. Ingatlah bahwa setelah datang badai pasti ada pelangi.
2.     Jangan merasa lemah. Tanamkan dalam pikiran bahwa kamu orang kuat.
3.     Berdamailah dengan keadaan dan mulai terima diri Anda dan,
4.     Masalah memang boleh dipendam sendiri, tapi alangkah baiknya untuk membaginya bersama orang yang dipercaya.

Unknown

Developer

Cras justo odio, dapibus ac facilisis in, egestas eget quam. Curabitur blandit tempus porttitor. Vivamus sagittis lacus vel augue laoreet rutrum faucibus dolor auctor.

0 comments:

Post a Comment