Aku bukanlah manusia tanpa cela. Dalam hidup hampir semua
momen ‘up and down’ pernah aku alami. Pertarungan melawan depresi menjadi salah
satu kejadian yang (mungkin) mengubah jalan cerita hidupku…
Berawal dari meninggalnya bapakku pada 2008 silam,
kehidupanku pun berubah. Dari yang awalnya penuh kesenangan, tiba-tiba berbalik
180° menjadi runyam.
Kala itu aku masih awal kelas 1 SMA, masuk semester dua
tepatnya. Di akhir Januari 2008, bapakku tiba-tiba dilarikan ke rumah sakit
karena mengalami stroke akibat terlalu lelah menyiapkan wisuda mahasiswa UGM –
beliau merupakan Kepala Seksi Registrasi dan Statistik Direktorat
Administrasi Akademik yang terletak di Gedung Pusat.
Aku masih ingat, pagi hari di tanggal 22 Januari,
aku sempat makan bareng sama beliau. Waktu itu berjalan normal, tidak ada
tanda-tanda bahwa ia akan mengalami sakit yang akhirnya merenggut nyawanya.
Pagi itu pun bisa dikata cerah untuk Januari yang biasanya sering hujan. Aku
memang tidak bisa membaca pertanda.
Siang harinya – selagi aku sekolah – ibuku ternyata
sudah bersama bapakku di salah satu rumah sakit yang ada di Yogyakarta. Tidak
seperti biasanya ia tidak pulang ke rumah terlebih dahulu untuk menyiapkan
lauk-pauk bagi kami, anaknya. Sembari menunggu kepulangan kedua orang tuaku,
aku menanti dengan perut keroncongan. Hingga waktu menginjak sore, ternyata
yang pulang cuma ibuku seorang. Dan kemudian ia menyuruhku bergegas ke rumah
sakit dengan tidak menjelaskan ada apa.
Di rumah sakit, aku mendapati tubuh bapakku penuh
selang dengan badan yang sudah lumpuh sebagian. Anak mana yang tidak hancur
hatinya mengetahui keadaan seperti itu? Walau mencoba tegar, air mata tetap
jatuh membahasi pipi. Suatu hal yang aku pikir alami dan manusiawi.
Memasuki malam hari, aku disuruh pulang untuk
mengurus rumah sementara adikku yang baru SMP menginap di rumah saudara. Ibuku
meminta aku untuk tetap hidup normal, dengan pesan ‘masuklah sekolah dan
belajarlah mandiri’. Oke, kataku dalam hati.
Mengetahui di rumah cuma ada aku seorang, tetangga
lantas menaruh curiga dan bertanya ke mana yang lainnya. Well, ibuku berpesan,
kalau ditanya tetangga, lebih baik jawab ‘bapak lagi ke luar kota’. Ibuku
bermaksud demikian supaya suaminya itu, yang merupakan ketua RT setempat, tidak
banyak dijenguk mengingat kondisinya yang kritis – anaknya saja tidak diizinkan
masuk ke ruang ICU, harusnya yang protes itu aku!
Mulai
dari situ kerunyaman tercipta. Saat aku tak lagi bisa
berbohong kepada tetangga, warga pun beramai-ramai menjenguk bapakku di rumah
sakit, meski semuanya tidak boleh masuk ke ruang perawatan. Berawal dari
tetangga pula, pakdheku (yang merupakan kakaknya bapakku) jauh-jauh datang dari
Jawa Timur ke Jogja untuk menemui adiknya.
Hubungan pakdheku dengan ibuku bisa dikata tidak
terlalu baik, begitu pula hubungan ibuku dengan budheku (adik dari bapakku).
Dari kejadian itu keduanya memendam amarah karena tidak diberi kabar soal sakit yang dialami saudaranya.
Ibuku memang salah, salah karena tidak memberitahu
keadaan yang sesungguhnya. Di sisi lain, dia juga benar, benar karena dia
berusaha sekuat tenaga untuk membuat suaminya beristirahat total tanpa ada
gangguan.
Semuanya dikerjakan sendiri… Mulai dari mengurus
anak sampai biaya operasi, ibuku berada di garis depan. Sebagai informasi,
bapakku sempat dinyatakan melewati masa kritis setelah melakukan operasi bedah
kepala, yang biayanya fantastis, guna mengurangi gumpalan darah yang ada di otak.
Dua hari sebelum meninggal, tepatnya 3 Februari,
bapakku tiba-tiba terbangun menjelang maghrib dan berusaha mengatakan sesuatu
kepada aku, yang waktu itu menemani di sampignnya. Ia hendak berkata tapi tak
bisa. Akhirnya aku memintanya untuk kembali istirahat dan bilang bahwa semuanya
baik-baik saja.
Semua yang aku kira baik, ternyata berubah menjadi
hal yang tak terduga. 5 Februari di siang hari, aku dijemput paksa oleh saudara
di sekolah dan ia mengabarkan bahwa bapakku sudah ada dalam kondisi sakaratul
maut. Setibanya di sana, aku (seperti biasa) mencoba tegar. Namun tangis itu
pecah juga ketika bapak dinyatakan meninggal dunia menjelang maghrib.
Waktu itu aku sejatinya disuruh pulang mengingat
sudah sore dan tidak ada orang di rumah. Aku juga sempat berpamitan kepada
bapakku dengan mengatakan bahwa aku akan pulang dan berjanji untuk kembali.
Baru beberapa langkah meninggalkan ruangan, tiba-tiba aku disuruh masuk lagi ke
kamar perawatan dan mengetahui bapakku telah tiada. Inna lillahi wa inna ilaihi
raji'un.
Ruangan itu mendadak banjir tangisan dengan aku
yang menangis sejadi-jadinya. Aku sama bapakku termasuk sangat dekat hingga aku
merasa begitu kehilangan – dalam hal ini aku kehilangan sosok yang selama ini
membimbing serta menginspirasiku.
Bapakku akhirnya dikebumikan pada Rabu, 6 Februari,
dengan semua kolega yang turut mengiringi kepergiannya, termasuk teman-temanku dari
kelas XG SMA N 5 Yogyakarta, SMP N 1 Yogyakarta
dan SD N Tukangan.
Meninggalnya bapakku menjadi babak tersulit dalam
kehidupan kami sekeluarga. Kami kehilangan sosok tulang punggung dan pekerja
keras yang memastikan masa depan kami aman. Terlepas itu, meninggalnya bapakku
merupakan sebuah pembelajaran, terutama untuk aku pribadi.
Beberapa hari setelah kepergiannya, pakdheku
tiba-tiba mempermasalahkan rumah yang selama ini kami tempati. Ya, rumah itu
merupakan warisan simbah (dari pihak bapak), sehingga dia mencoba untuk
memilikinya kembali padahal ia sudah meninggalkan rumah tersebut sejak tahun
70an.
Rumah itu dulunya tidak berbentuk. Berkat upaya
bapakku, sedikit demi sedikit akhirnya tempat tinggal itu layak untuk disebut
rumah, rumah bagi kami berempat.
Bapakku sejatinya punya pemikiran untuk beli rumah
sendiri sewaktu masih hidup. Tapi karena almarhum simbah melarang, akhirnya
beliau mengikuti karena mengira tidak akan ada masalah dengan rumah yang
ditempati saat ia meninggal nanti.
Kenyataan justru berkata lain. Kami terusir dari
rumah tersebut dan kebingungan mencari tempat berteduh. Ibuku lantas
mengupayakan untuk mengontrak rumah yang berada dekat dengan saudaranya, yang
mana kami tempati selama enam bulan sebelum akhirnya simbah (dari ibuku)
memberikan tanah secara cuma-cuma yang ada di Tugu dan membangunnya menjadi
rumah sangat sederhana.
Saat pindahan selesai, muncul masalah lainnya.
Adikku. Ya, adikku yang waktu itu memasuki kelas 2 SMP meminta untuk dibelikan
motor sebagai penunjang kegiatan, dan tak tanggung-tanggung, yang diminta
adalah motor laki yang harganya tahu sendiri.
Pertamanya tidak dikabulkan, hingga adikku
mengeluarkan jurus mogok bicara hampir selama setahun. Ibuku tidak diajak
bicara begitu lama hingga membuat kami berdua stres.
Aku pun menyadari kalu perubahan juga tercipta
dalam diriku. Aku yang semula gendut berbobot 100kg, dalam setahun kehilangan
berat hampir mencapai 30kg, dan itu akibat depresi yang aku alami.
Depresi yang aku rasakan merupakan akumulasi dari
rasa sedih dan frustrasi sebagaimana aku yang mencoba untuk berdamai dengan
keadaan. Jika kebanyakan orang depresi melakukan bunuh diri, aku memilih untuk
memendamnya hingga perasaanku yang menjadi korban.
Hampir setahun lamanya aku memulihkan diri. Dalam kesempatan
ini aku juga ingin berterima kasih kepada tanteku yang selama waktu sulit
tersebut mau mendengar keluh kesahku. Dialah yang memberi pandangan untuk tetap
positif meski kehidupan berjalan negatif.
Dengan aku yang semakin dewasa, aku pun mulai lebih
bertanggungjawab, mencoba menjadi mandiri. Sejak lulus SMA, aku lantas mencari
pekerjaan sekaligus menyalurkan hobi: sepakbola. Kebetulan, aku adalah orang
yang memiliki kemampuan dan pengetahuan yang cukup untuk terjun di dunia
jurnalisme sepakbola, sehingga aku mendapatkan peran sebagai editor untuk klub
Indonesia Premier League (IPL) Real Mataram, yang mana merupakan pekerjaan
pertamaku.
Saat kompetisi tandingan untuk PSSI itu bubar,
Tuhan membukakan jalannya padaku dengan aku yang diterima bekerja di ESPN Star
Sports, dan juga Goal Indonesia.
Dirasa sudah mandiri, ibuku menyuruh untuk membeli
rumah dengan cara mengangsur demi masa depan. Praktis, sejak 2012 aku sudah
tidak lagi serumah dan Alhamdulillah tidak lagi meminta darinya.
Beberapa hal yang ingin aku tekankan kepada kalian
yang mendapati diri tengah berada di titik terendah adalah…
1.
Jangan pernah putus asa dan selalu berpandangan
positif. Ingatlah bahwa setelah datang badai pasti ada pelangi.
2.
Jangan merasa lemah. Tanamkan dalam pikiran bahwa
kamu orang kuat.
3.
Berdamailah dengan keadaan dan mulai terima diri
Anda dan,
4.
Masalah memang boleh dipendam sendiri, tapi alangkah
baiknya untuk membaginya bersama orang yang dipercaya.
0 comments:
Post a Comment